readbud

Rabu, 04 November 2009

Di Rumah Anak Manis, di Luar Bikin Miris

Di Rumah Anak Manis, di Luar Bikin Miris by: taufic ismail


KEBEBASAN berkelompok dan berkumpul tampaknya belum dipahami secara positif oleh kalangan remaja. Pola pikir yang masih labil dan kurangnya kasih sayang seringkali berbuah tindakan menyimpang. Apalagi jika nilai dan budaya yang masuk serta tersedia di lingkungan sekitar negatif, maka tidak mustahil dengan mentah akan ditelan anak baru gede (ABG).

Anggapan demikian agaknya tepat ketika menyimak sepak terjang Geng Nero, kelompok cewek ABG asal Juwana, Pati. Untuk menunjukkan keakuannya dan tak ingin tersaingi kelompok atau individu lain mereka menempuh jalan apa pun, termasuk kekerasan.

Sejumlah bukti dan kesaksian telah menguak perjalanan geng yang terbentuk dua tahun lalu sewaktu tujuh anggotanya duduk di kelas VIII SMPN 1 Juwana. Eksistensi geng yang awalnya hanya kumpulan cewek-cewek penghobi basket, seiring berjalannya waktu mengarah pada komunitas yang sangar dan ditakuti.
Seorang guru olahraga SMPN 1 Juwana Drs Suyitno Yuwono mengaku tidak mengenal geng tersebut. Namun, dia pernah membina salah satu pelaku kekerasan yang ada di rekaman video geng nero, TK, dalam ekstrakurikuler bola basket.

"TK dulu memang menjadi tim inti dalam tim bola basket putri SMPN 1 Juwana. Dia juga menjadi salah satu siswa yang mengantarkan tim kita juara III pada Kejuaraan Bola Basket Bupati Cup 2006," ujarnya sambil menunjukkan tropi, kemarin.

Mengenai tiga mantan siswanya yang saat ini menjadi tersangka tindak kekerasan, RT, MY, dan YK, Suyitno mengaku tidak mengenalnya secara pasti. Karena itu setelah terkuak ulah mereka yang di luar batas, dia dan segenap guru SMP itu terkejut.

Beberapa guru perempuan di sekolah tersebut saat dimintai keterangan mengatakan, tak tahu persis aktivitas ketujuh mantan siswanya yang tergabung dalam Geng Nero. Mereka justru mengungkapkan bahwa RT, MY, YK, dan TK tak pernah neko-neko di sekolah.

Setiap diberikan tugas dan dipanggil menghadap juga tak pernah membantah. Mengenai disiplin, absensi para gadis belia itu juga tak pernah nihil, kecuali sakit atau izin untuk keperluan tertentu.

Sikap demikian tak lantas menjamin mereka berperangai baik di luar. Berdasar kesaksian seorang korban kekerasan Geng Nero, ES, yang saat ini belajar di SMPN 3 Juwana, penganiayaan juga pernah menimpa dirinya setahun lalu. Dari pengakuan itu menguatkan dugaan aksi kekerasan mereka dilakukan sejak SMP karena saat ini keempat pelaku mengenyam pendidikan di kelas X SMA.

Bahkan korban itu pernah mengatakan aksi lebih sadis dari vi-deo yang beredar juga pernah dilakukan Geng Nero. Dia juga menyebut jumlah korbannya mencapai lebih dari 30 orang namun tidak semua berani mengaku. Keinginan mendapat pengakuan atas geng mereka, terbukti dari motif kekerasan yang menimpa ES. Tak merasa menghina atau menjelek-jelekkan Geng Nero, dia tiba-tiba saja dicegat saat pulang sekolah dan dianiaya. Padahal dia hanya terkena fitnah temannya.
Perekonomian Keluarga Kenakalan remaja putri yang melebihi laki-laki itu juga tak tampak di lingkungan keluarga mereka. Dari hasil interview Balai Pemasyarakatan (Bapas) Pati kepada para orang tua pelaku menyebutkan, saat di rumah mereka anak manis. Setiap ke luar rumah selain pergi sekolah, anggota Geng Nero selalu pamit. Namun siapa menyangka jika izin mengikuti pelajaran tambahan dan ekstrakurikuler justru dimanfaatkan untuk kumpul-kumpul yang menjurus ke tindakan kriminal.

Kalau dikatakan mereka tak ingin disaingi karena strata sosial keluarga tinggi, tampaknya tidak tepat. Personel Geng Nero berangkat dari keluarga yang kondisi ekonomi keluarganya tergolong lumrah dari masyarakat kebanyakan. Hanya saja, dua orang di antara mereka tidak didampingi ayahnya di rumah karena bekerja di luar daerah dan satunya lagi broken home.

Dari keterangan yang berhasil dihimpun Suara Merdeka, tingkat perekonomian keluarga anggota Geng Nero yang paling menonjol adalah RT. Dia berasal dari keluarga petani tambak yang cukup sukses sehingga dari segi materi lebih berkecukupan dibanding lainnya yang hanya pedagang di pasar dan MC (master of ceremony) pertunjukan.

Potret demikian memunculkan beberapa kesimpulan yang beragam. Bisa jadi potensi mereka sebagai pebasket tak ingin disamai atau justru karena merasa tersaingi jika melihat penampilan cewek sebaya melebihinya. Atau justru karena faktor pencarian jati diri yang salah arah lantaran perhatian dan kasih sayang orang tua sebagai unsur pendidik kedua bagi anak minim akibat kesibukan dan kondisi keluarga yang berantakan.

Tidak ada komentar:

readbud.com

readbud - get paid to read and rate articles